Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan

Political Personal Branding Satu Cara Untuk Memenangkan Kandidat Pada Pilkada

Selasa, 13 Oktober 2020 | Oktober 13, 2020 WIB Last Updated 2020-10-12T17:57:51Z

  




mediafaktajambi.com. pilkada untuk pemilihan gubernur Jambi akan dilakukan pada bulan desember 2020,berbagai desas desus ditengah masyarakat mulai berkembang salah satunya adalah politik modal besar,siapa yang banyak modal dipastikan menang


Bahkan para tim sukses dengan lantang menyuarakan siap memenangkan kandidatnya  dengan syarat harus ada punya modal besar,akibatnya  kandidatpun terpaksa harus berpiir panjang bagaimana memenuhi keinginan dari tim sukses dilapangan demi meraih kemenangan


Namun  kandidat harus ingat modal besar bukanlah penentu semuanya, sebab political personal branding menjadi memegang peranan   yang sangat penting bagi calon kadidat baik walikota, bupati ,gubernur bahkan presiden



Praktisi komunikasi Silih Agung Wasesa menyebutkan hal itu dalam buku terbarunya yang berjudul Political Personal Branding, Strategi Jitu Menang Kampanye di Era Digital. Dengan strategi jitu, modal bukan lagi penentu dalam pemilu.


Personal branding memungkinkan seseorang untuk mengukuhkan reputasi yang diinginkannya di benak publik. Dalam dunia politik, reputasi ketokohan itu harus menancap kuat di benak calon pemilih.


 Mereka akan merasa dia satu-satunya pilihan yang ada.Perlu diingat, personal branding bukanlah upaya memoles citra diri seseorang untuk membuatnya menjadi (tampak) baik di hadapan orang banyak, melainkan lebih pada memperkuat keunggulan yang ada di diri orang tersebut.


Bukan soal dandanan yang rapi, sikap yang santun, penuh senyum atau menggunakan bahasa tubuh yang ritmis. Etika berbicara dan berperilaku itu memang perlu, tapi baru sekitar 7% dari kebutuhan personal branding yang sesungguhnya.


Jika ternyata pertempuran politik sudah sedemikian dekat, apa yang harus dilakukan lebih dulu untuk membangun personal branding? Dari hasil penelitian dan pengamatannya selama bertahun-tahun, 


Silih Agung  menyarankan untuk memanfaatkan digital personal branding, dimulai dari media sosial.Kemampuan melek digital ini dinilai penting karena jumlah pemilih pemula (milenial) saat ini lebih dari 30%. 


Mereka dari kelas menengah berusia 18-30 tahun, agak cuek dengan politik, jarang punya waktu kumpul bareng warga, apalagi ikut acara politik. 


Mereka kerap menjadi trendsetter, lebih senang menyendiri dan menjelajahi dunia maya. "Mereka inilah swing voters, undecided voters. Inilah tantangan para politikus zaman now."Bagaimana caranya? 


Langkah pertama dimulai dengan pendalaman taktik digital personal branding. Yang harus digali ialah penempatan pesan pada segmen dan target berbeda. 


Waktu mengunggah konten juga jadi pertimbangan penting.Kekuatan personal branding yang digabungkan dengan kekuatan digital diyakini mampu membuat pendanaan kampanye pun menjadi murah. 


Seperti yang dilakukan Ganjar Pranowo, yang sukses menjadi Gubernur Jawa Tengah selama dua periode.Pun dengan strategi digital, Joko Widodo yang dulu Wali Kota Solo melejit menjadi Gubernur DKI hingga akhirnya menjadi Presiden  negara ini. 


Ridwan Kamil, tokoh muda yang punya banyak penggemar di media sosial bisa meraup hati pemilihnya hingga didaulat menjadi Wali Kota Bandung.


Ini membuktikan, pada era demokrasi digital sekarang ini, seorang pendatang baru bisa didesain sedemikian rupa untuk menjadi viral, tenar, melejit popularitasnya mengalahkan tokoh lama," ujar penulis di halaman 45. 


Tiga pintuPerlu diketahui, ada tiga pintu utama untuk bisa dekat dengan masyarakat atau calon pemilih, yakni kognisi (pikiran rasional), afeksi (perasaan atau emosi), dan psikomotorik (perilaku). 


Sentuhlah kognisi publik secara rasional dengan cara kreatif sehingga mereka tahu alasan untuk memilih


.Meskipun sudah punya alasan memilih, publik perlu memiliki kedekatan batin dan ini jauh lebih kuat daripada kedekatan rasional itu. 



Pendekatan emosi ini menjadi jalan masuk menuju bawah sadar mereka.Seperti yang terjadi di Lampung, ketika seorang peserta kampanye pilkada mampu menarik minat pemilih hanya dengan mengenakan blangkon di kepalanya.


 Blangkon, dengan cepat masuk ke dalam bawah sadar masyarakat keturunan Jawa yang ada di Lampung.


Ketika emosi dan kognisi sudah dikuasai, saatnya menciptakan tindakan untuk mendorong mereka memilih. Menguasai emosi dan kognisi tanpa ada tindakan, akan membuat semuanya sia-sia.


 Meski keunggulan yang dimiliki sama dengan lawan, cukup dimodifikasi agar menjadi berbeda. 


Ambil contoh, jika kompetensi yang dimiliki Anda dan lawan politik Anda sama-sama bidang ekonomi, carilah sesuatu yang specialized. Kalau lawan dikenal sebagai pakar pemberdayaan ekonomi kerakyatan, anda bisa memoles kompetensi sebagai pakar pencetak entrepreneur muda.


Setelah mengidentifikasi kompetensi, lakukan konsistensi untuk menerapkan kompetensi itu dalam keseharian. Semakin kreatif cara Anda, semakin melekatlah nama Anda dalam benak masyarakat.Cara yang kerap dilakukan ialah dengan membangun makna dari sebuah nama agar mudah diingat hingga ke bilik suara. 


Akan lebih baik kalau makna baru nama sesuai dengan keunggulan kompetensi Anda. Hal ini penting karena lembar pemilih dalam pemilu hanya mencetak nama calon."Lebih dari 60% memori yang masuk adalah melalui mata dengan kekuatan visual, maka nama sebagai caleg harus bisa divisualkan dalam pikiran pemilih," sebut penulis di halaman 33.


Penggunaan warna yang tepat juga tak kalah penting untuk dapat mendongkrak popularitas personal branding politikus. 


Buku Political Personal Branding ini melengkapi buku trilogi Silih Agung Wasesa sebelumnya, yaitu Strategi Public Relations (2005), Political Branding (2013), dan Personal Branding (2018). Butuh waktu delapan tahun bagi penulis untuk menuntaskan penulisan bukunya setebal 260 halaman itu


.Bukan kecewa, pakar komunikasi itu justru menuai berkah dari proses panjangnya itu. Ide-ide yang berhasil ditangkapnya lebih banyak seiring dengan kemunculan gelaran pilkada, pileg, dan pilpres sehingga buku yang ditulisnya lebih komprehensif.


"Kasusnya langsung di ambil di lapangan. Solusinya sangat masuk akal. Seandainya jadi buku wajib, maka akan ada ratusan miliar dana kampanye yang terselamatkan," ucap Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, saat memberikan testimoninya di buku itu.


Penulis yang sudah malang melintang selama 20 tahun di dunia komunikasi itu memang dikenal banyak membantu tokoh-tokoh politik di Indonesia dari berbagai profesi. Ilmu psikologi yang didalaminya juga menyingkap rahasia-rahasia penting untuk memaksimalkan branding politikus atau parpol, melalui sejumlah kuesioner dan simulasi.

Pada akhirnya, buku ini setidaknya berhasil membangun citra positif, bahwa menjadi politikus itu begitu seru, tidak seburuk yang digambarkan dalam forum-forum publik. Terpenting, buku ini bisa menjadi acuan politikus dan partai politik yang ingin berkampanye hemat dan 75% lebih efisien.(as/MI)

×
Berita Terbaru Update