Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan

Proyek Gagal siapa Yang Harus Bertanggung Jawab?

Rabu, 05 Februari 2020 | Februari 05, 2020 WIB Last Updated 2020-02-05T14:10:42Z


Jambi.mediafakta.or.id.setiap tahun baik pemerintah pusat,pemprov,pemkab terus melakukan pembangunan baik fisik atau pekerjaan konstruksi maupun non fisik.
Namun kita dikejutkan dengan serangkaian liputan pemberitaan media massa tentang runtuhnya atau rusak  bangunan konstruksi didaerah yang dibangun oleh pemerintah melalui jasa jasa kontruksi atau kontraktor bahkan tudingan negatifpun muncul oleh kalangan masyarakat terhadap kinerja baik penyedia jasa, pengawas serta pihak kontraktor
Tentunya, kita semua prihatin banyak proyek fisik baik yang menggunakan anggaran dari rakyat kadang kala baru seumur jagung sudah banyak yang rusak 
Kondisi tersebut menimbulkan tanda tanya besar, siapa pihak yang bertanggung jawab, seberapa besar tanggung jawab tersebut, dan bagaimana mekanisme pengawasan, penegakan hukum, serta pencegahannya. Semua pertanyaan ternyata  sudah diantisipasi oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. 
 Menurut Suhartono peneliti Madya di Badan Keahlian DPR, mantan anggota tim ahli DPR dalam perancangan UU 2/2017 dalam tulisannya di detik.com secara gamblang menjelaskannya
Menurutnya Undang-undang tersebut dirumuskan untuk mengatasi adanya kelemahan tata kelola dan pengawasan terhadap perkembangan konstruksi nasional yang tidak bisa diantisipasi oleh UU Nomor 18 Tahun 1999.
Lantas, bagaimana seharusnya pemerintah merespons peristiwa tersebut menurut UU No.2/2017, dan apakah rangkaian peristiwa yang baru saja terjadi bisa dicegah dengan kewenangan, prosedur dan mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada?
Tanggung Jawab Siapa
Baik UU No.18/1999 maupun UU No.2/2017 keduanya mengatur apa yang menjadi definisi kegagalan bangunan. Mengapa peristiwa kegagalan bangunan itu penting? Karena kegagalan bangunan merupakan peristiwa hukum yang memiliki implikasi yang luas,
Bahkan lebih luas lagi dapat berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap nilai dan kualitas produk jasa konstruksi itu sendiri baik berupa bangunan gedung seperti rumah dan perkantoran atau bangunan sipil seperti jalan dan jembatan.
Oleh karenanya, sejak penyelenggaraan konstruksi diatur pertama kali dalam UU No.18/1999, peristiwa tentang kegagalan bangunan menjadi peristiwa hukum yang selalu diatur dan didefinisikan kembali mengikuti perkembangan. Dalam hal ini, UU No.2/2017 hanya melakukan penyempurnaan agar lebih operasional dengan mendefinisikan kembali kegagalan bangunan sebagai suatu keadaan keruntuhan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil jasa konstruksi.
Ada dua subjek hukum yang bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa kegagalan bangunan. Pertama, penyedia jasa yaitu pemberi layanan jasa konstruksi. Dan Pihak kedua adalah pengguna jasa
elakunya bisa berbentuk badan maupun perorangan. Mereka yang selama ini memberikan layanan konsultasi, melakukan pekerjaan konstruksi atau kedua layanan sekaligus. Gambaran umumnya mereka yang sering disebut sebagai kontraktor pekerjaan konstruksi. Pihak kedua adalah pengguna jasa,
Kenapak keduanyaatau salah satu di antaranya bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab?
Pertama, UU No.2/2017 menggunakan frasa dan/atau ketika menyebut keduanya terkait kegagalan bangunan. Kedua, sering secara awam kita akan menunjuk penyedia yang harus bertanggung jawab, namun secara filosofis proses penyelenggaraan dan kenyataannya, pengguna bisa juga menjadi penyebab atau bertanggung jawab.
Hal ini bisa terjadi karena pengguna sudah terlibat atau berperan sejak menentukan spesifikasi bahan bangunan, kualitas bangunan maupun cara mengerjakan dan menggunakan bangunannya.
Sedangkan penyedia jelas merupakan subjek yang melakukan seluruh proses pekerjaan yang diminta oleh pengguna sehingga dimungkinkan hasil pekerjaannya setelah diserahterimakan ke pengguna jasa mengalami kegagalan bangunan.
Kedua pihak pengguna dan penyedia dalam mengikatkan kontrak pekerjaan konstruksi harus memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. Untuk mencegah terjadinya kegagalan bangunan keduanya dipersyaratkan harus memenuhi standar bahan, mutu peralatan, keselamatan dan kesehatan kerja, prosedur pelaksanaan pekerjaan, standar operasi dan pemeliharaan, pengelolaan lingkungan sosial dan hidup.
Dalam setiap tahapan proses pekerjaan pengguna dan/atau penyedia wajib memberikan pengesahan atau persetujuan terkait hasil kajian, perencanaan, perancangan, rencana teknis proses, pelaksanaan, penggunaan material dan hasil layanan. Sehingga jelas apabila terjadi peristiwa hukum kegagalan bangunan dapat dipastikan melibatkan kedua pihak
. Azas kesetaraan yang dijadikan landasan pembentukan UU No.2/2017 memungkinkan pihak yang bertanggung jawab adalah salah satu atau kedua-duanya.
Kedua pihak menurut Pasal 96 UU No.2/2017 dapat dijatuhi sanksi tertulis, denda, penghentian kegiatan layanan, dimasukkan ke daftar hitam, pembe kuan izin dan/atau pencabutan.
Mekanisme Penegakan
Walaupun UU No.2/2017 hanya mengatur sanksi non pidana namun, penentuan siapa yang bertanggung jawab bisa berlanjut pada pengenaan pasal pidana ketika menyebabkan korban jiwa atau perdata ketiga menimbulkan kerugian material. Penegakan hukum pidana dan perdata melibatkan unsur kepolisian dan kejaksaan.
Namun, menurut Pasal 60 UU No.2/2017 secara bersamaan atau sebelum unsur kepolisian masuk mengusut peristiwa ini, penting dan perlu dilakukan terlebih dahulu penetapan penilai ahli
Penilai ahli bertugas mengusut peristiwa yang terjadi, untuk menetapkan apakah masuk kategori kegagalan bangunan atau tidak, dan menetapkan siapa yang bertanggung jawab. Penilai ahli yang terlibat harus memiliki sertifikat kompetensi dan keahlian, berpengalaman, serta terdaftar sebagai penilai ahli di pemerintah.
Paling lama dalam 30 hari, sudah menetapkan penilai ahli sejak menerima laporan peristiwa kegagalan bangunan. Penilai ahli paling lama dalam 90 hari sudah harus melakukan dan melaporkan pekerjaannya. Dalam proses penilaian, penilai ahli harus bersikap independen dan objektif dalam menetapkan pihak yang bertanggung jawab. Hasil penetapan oleh penilai ahli akan menjadi salah satu petunjuk atau barang bukti ketika peristiwa tersebut masuk ke ranah pidana atau 
perdata.
Penulis :river broker .S.Pd
×
Berita Terbaru Update